PENGELOLAAN LAHAN PERHUTANI
DI DESA
MEKARWANGI KECAMATAN IBUN KABUPATEN BANDUNG
DITINJAU DARI PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
Oleh: Udin Saripudin
I.
PENDAHULUAN
Mekarwangi merupakan
sebuah desa paling ujung timur tenggara Kabupaten Bandung, tepatnya berada di
Kecamatan Ibun sebelah selatan kota Majalaya yang merupakan pusat industri
tekstil di kota kembang Bandung. Desa Mekarwangi diapit oleh 5 desa dari 3
kecamatan dan 2 kabupaten. Sebelah utara berbatasan dengan desa Sudi kec. Ibun
dan desa Sindangsari kec. Paseh, sebelah selatan berbatasan dengan desa
Sukawangi kec. Samarang kab. Garut, sebelah barat berbatasan dengan desa
Laksana kec. Ibun dan sebelah timur berbatasan dengan desa Loa kec. Paseh.
Luas desa
Mekarwangi adalah 669.712 Ha, yang merupakan dataran tinggi dengan ketinggian
900-1400 m dpl, dengan curah hujan yang tiap tahunnya mencapai 2000-3000 MM/
tahun menjadikan daerah tersebut sangat subur dan cocok dijadikan sebagai area
pertanian, dari luas daerah tersebut kurang lebih 90%-nya merupakan areal
pertanian, baik pesawahan maupun tegalan.
Desa
Mekarwangi termasuk desa yang berpenduduk cukup padat, jumlah penduduknya
mencapai 6000 jiwa. Mayoritas penduduknya hanya berpendidikan SD dan tidak
punya pekerjaan tetap, oleh karena itu desa Mekarwangi termasuk kategori desa
miskin, dimana mayoritas penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.
Mayoritas
penduduk desa Mekarwangi tidak mempunyai pekerjaan dan keahlian, sesuatu yang
mereka bisa hanyalah menggunakan ccangkul untuk bertani, didukung oleh
kesuburan tanah dan kondisi geografis desa Mekarwangi, maka mayoritas penduduk
desa Mekarwangi memilih bermatapencaharian sebagai petani ataupun buruh tani.
Diantara mereka ada yang menggarap lahan milik pribadi, ada juga yang menjadi
petani penggarap yang menggarap lahan milik tuan-tuan tanah dengan sistem bagi
hasil yang biasa dikenal dengan “nengah” yaitu penghasilan dibagi dua dengan
prosentase 50: 50, dengan ketentuan pemilik tanah hanya menyediakan tanah saja,
pupuk dan obat-obatan lainnya ditanggung penggarap; dan “mertelu” yaitu
penghasilan dibagi dua dengan prosentase 1/3 bagi penggarap dan 2/3 bagi
pemilik lahan, hal ini dilakukan jika petani penggarap hanya mengerjakan lahan
saja, pupuk dan sebagainya ditanggung pemilik lahan.
Selain
bertani, ada juga diantara penduduk desa Mekarwangi yang bekerja sebagai, buruh
bangunan, pembantu rumah tangga, dan selebihnya memilih menjadi pengangguran,
terutama kaum mudanya. Mereka merasa gengsi dan malu untuk bertani ataupun
menjadi buruh bangunan sementara untuk masu pabrik tekstil di daerah Majalaya
pun mereka di tolak, karena mereka mayoritas hanya berijazah SD, sementara
untuk dapat diterima di pabrik tekstil di daerah Majalaya minimal harus
berijazah SMA, akhirnya mereka menganggur dan bergantung hidup pada orang tua
mereka. Faktor ini jugalah yang kiranya menjadi salah satu penyebab banyaknya
keluaraga miskin di desa Mekarwangi.
Namun,
seiring berjalannya waktu dan bertambahnya jumlah penduduk akhirnya, akhirnya
banyak lahan pertanian yang kemudian beralih pungsi menjadi pemukiman dan ada
juga sebagian mereka yang menjual tanahnya kepada tuan tanah, sehingga akhirnya
lahan pertanian yang mereka miliki habis sementara mereka harus tetap bertani
untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Karena tidak punya lagi lahan
garapan, akhirnya mereka menggarap lahan hutan yang berada di sekitar desa
Mekarwangi yang hak pengelolaan hutannya (HPH) dikuasai oleh Perum Perhutani,
dengan cara tumpang sari dibawah tegakan yang berupa pohon pinus.
Pada awalnya
kegiatan mereka ini tidak menuai masalah, malahan terjadi simbiosis mutualisme
antara masyarakat dan Perhutani dalam mengelola hutan, pihak Perhutani pun
mendapatkan imbalan semacam uang sewa atas lahan yang digarap oleh masyarakat.
Namun,
seiring dengan keruksakan hutan yang terjadi akhiir-akhir ini, kemudian
masyarakat sekitar hutan sering dijadikan kambing hitam dari kerusakan hutan
tersebut, mulai dari tudingan pembakaran hutan untuk membuka lahan pertanian
baru hingga tuduhan pembalakan liar dituduhkan kepada masyarakat. Puncaknya,
terjadi pada awal 1990-an, dengan adanya penutupan lahan, masyarakat tidak
boleh lagi bertani di lahan hutan. Akan tetapi, karena tidak ada jalan lain
untuk berpenghasilan serta mereka beranggapan bahwa kegiatan pertanian mereka
tidak menyebabkan kerusakan hutan, akhirnya masyarakat terus memaksa untuk
dapat bertani di lahan Perhutani tersebut, beberapa upaya prepentif sampai
represif dari pihak Perhutani pun tiidak mereka hiraukan asalkan mereka bisa
memenuhi kebutuhan hidupnya. Hingga pada akhirnya tahun 2006 Perhutani
menggulirkan program Pengelolaa Hutan Bersama Masyarrakat (PHBM) yang pada
intinya menekankan pada 3 opsi yaitu; alih komoditi, alih profesi dan alih
lokasi. Akan tetapi, kebijakan ini masih dirasa kurang epektif bagi masyarakat,
karena masyarakat hanya di perbolehkan menanam tanaman tertentu saja yang
merupakan tanaman jangka panjang, seperti kopi, alpukat dan lain-lain,
sementara kebutuhan hidup masyarakat harus terpenuhi setiap hari, dan itu hanya
bisa terpenuhi ketika mereka bertani palawija ataupun sayuran. Akhirnya
merekapun terus memaksakan menanam sayuran dan palawija meskipun dilarang.
Dari uraian
di atas, ada beberapa pertanyaan yang penulis ingin jawab, bagaimana
permasalahan kerusakan hutan yang sebenarnya? Apa benar kerusakan hutan yang
terjadi itu akibat kegiatan pertanian yang dilakukan masyarakat? Ketika
masyarakat tidak memiliki lahan untuk bertani, apa yang harus dilakukan pemerintah,
menginggat UUD 45 yang menyatakan sumber daya alam itu harus dipergunakan untuk
kemakmuran rakyat? Terakhir, bagaimana
menurut pandangan Islam mengenai tindakan yang dilakukan masyarakat yang
memaksa untuk mengelola lahan Perhutani yang tidak digunakan?
II. Permasalahan KERUSAKAN
HUTAN di Ibun
dan Paseh
Sebagaiman
dijelaskan di atas, Ibun dan Paseh merupakan
kecamatan yang terdapat di selatan Kabupaten Bandung, topografinya terdiri dari
daerah dataran tinggi dan pegunungan yang masih merupakan gugusan Gunung
Guntur, sehingga Ibun memilki kawasan hutan yang cukup luas. Ada sekitar 7 desa
di Kecamatan Ibun dan Paseh yang wilayahnya berbatasan langsung dengan areal
hutan, yaitu; Mekarwangi, Laksana, Ibun, Dukuh, Neglasari, Loa dan Drawati yang
semuanya berada dalam kawasan RPH Mandalawangi BKPH Ciparay KPH Bandung Selatan
Perum Perhutani Unit III Jabar Banten.
Kawasan hutan di kecamatan Ibun dan Paseh merupakan salah satu kawasan
lahan kritis di kabupaten Bandung yang kerusakanya terbilang cukup parah,
selain Gunung Wayang dan Manglayang, mulai dari kawasan Gunung Pulus Desa
Drawati kecamatan Paseh sampai Kamojang Kecamatan Ibun. Kerusakan berawal pada
tahun 1982-1985-an yaitu dengan adanya penebangan hutan pinus oleh Perhutani
yang terjadi di kawasan Ibun dan Paseh RPH Mandalawangi, yang menyebabkan hutan
gundul sehingga terjadi kekeringan pada musim kemarau dan pada musim hujan
berpotensi terjadi bencana banjir.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan beberapa narasumber mengenai kronologis kerusakan hutan
di IBUN dan Paseh, diperoleh informasi bahwa sebenarnya kerusakan hutan tersebu
diawali oleh penebangan hutan pinus oleh Perhutani guna kepentingan produksi, kemudian terjadi karena
topan yang melanda kawasan Ibun dan Paseh pada tahun
1984 sehigga pohon-pohon pinus pada waktu itu roboh, dan sisa kerusakannya ditebang oleh masyarakat, namun
jumlahnya maih sangat kecil jika dibandingkan dengan yang dilakukan oleh
Perhutani.
Tabel 1. Uraian Kronologis Kerusakan Hutan
TAHUN
|
LOKASI/
BLOK
|
URAIAN KEJADIAN
|
DAMPAK
|
PELAKU
|
1982 –
1984
|
Cijangkar
Legoktangkalak
Cibentang
Cigincu
Batugandawesi
Monteng
|
Penebangan pohon pinus secara
besar-besaran oleh PERHUTANI.
|
Hutan gundul
Debet air sungai menurun pada musim kemarau.
|
PERHUTANI
|
1984/85-an
|
Batugede
Legokdemplon
Karamat
|
Angin topan merobohkan sebagian
besar pohon pinus di areal tersebut.
|
Hutan gundul
Terjadi banjir bandang. (1987).
Satu rumah dan satu jembatan hayut, 2orang meninggal dunia, dan hektaran
sawah tertimbun material banjr.
|
Bencana alam
Cat. Pinus pada waktu itu sedang dalam keadaan di sadap oleh PERHUTANI
|
Catatan: Sebagian kecil dari sisa penebangan oleh
Perhutani dan angin topan dijarah oleh masyarakat.
Tabel 2. Peta Pelaku Penyebab Kerusakan Hutan.
PELAKU
|
KEPENTINGAN
|
PERAN DALAM PERUSAKAN
|
PERHUTANI
|
Produksi
|
Perhutani sebagai pemilik
proyek, pelaksana lapangan masyarakat yang diupah untuk kerja.
|
Sebagian masyarakat
|
Ekonomi /untuk bertahan hidup
|
Sebagai penebang, namun
ditenggarai ada oknum petugas Perhutani yang terlibat. (lemahnya kinerja
petugas Perhutani)
|
Untuk menanggulangi kerusakan yang terjadi berbagai upaya telah dilakukan baik
itu melalui program Perhutani maupun Dinas Kehutanan yang pada intinya
merupakan kegitan penanaman kembali lahan kosong/reboisasi. Ada beberapa
program penghijauan yang dilakukan di kecamatan Ibun dan Paseh untuk
menanggulangi kerusakan hutan tersebut, diantaranya: PHBM, GNRHL dan GRLK.
Namun program-program tersebut ternyata tidak efektif dan di lapangan tidak
berjalan dengan baik, sehingga hutan tetap saja rusak.
Tabel 3. Program Dan Kebijakan Dalam Rangka Memperbaiki Kondisi Hutan
WAKTU
|
PROGRAM
|
DESKRIPSI KONSEP
|
TINGKAT KEBERHASILAN
|
-
|
Rebnoisasi
|
Hutan gundul yang tinggal semak belukar dibabat berjalur, jaluran
tersebut ditanami dengan pohon pinus
|
Kurang berhasil, pertumbuhan terhambat oleh semak belukar
|
1985-1987
|
Reboisasi dengan tumpang sari sayuran
|
Masyarakat dibolehkan menggarap lahan hutan (sewa) dengan catatan harus
menanam pinus
|
Kurang berhasil
Bibit tidak mencukupi
Waktu tumpangsari singkat. (Tanaman masih kecil semak ke buru tinggi)
|
1999-2003
|
PHBM
|
Masyarakat dibolehkan menggarap lahan hutan (sewa) dengan catatan harus
menanam pinus
|
Berhasil
Bibit mencukupi
Waktu TS relatif lama. (tegakan
sudah besar ketika TS berhenti)
|
2003
|
SE 522
|
Masyarakat yang menggarap lahan hutan harus segera menghentikan
garapanya, tidak boleh lagi tumpang sari sayuran.
|
Tidak berhasil memperbaiki kerusakan hutan
Hutan terlantar, terjadi penebangan liardan kebakaran hutan.
|
2003
|
GNRHL
|
Dibentuk beberapa kelompok tani hutan untuk melaksanakan proyek penghijauan.(pembuatan
jalur tanam, lubang tanam, pengangkutan bibit,penanaman dan pemeliharaan)
|
Tidak berhasil
Bibit datang menjelang kemarau
Sistim proyek, orientasinya untung/rugi, kerja borongan, terkesan
asal-asalan
Kualitas bibit jelek
Kurang pemeliharaan dari pihak-pihak terkait
|
2004
|
GRLK
|
Bibit disediakan oleh Disbun dan diserahkan pada pasilitator di tingkat
Desa. Oleh fasilitator Bibit langsung dibagikan pada masing-masing pemilik
lahan
|
Kurang berhasil Bibit datang menjelang kemarau
Kualitas bibit jelek
|
2005
|
PHBM
|
Masyarakat boleh menggarap lahan Perhutani dengan tumpangsari tanaman
kopi dan lainya yang dibolehkan yang tidak memerlukan olah tanah secara terus-menerus
|
Untuk hutan /Perhutani sejauh ini cukup
berhasil mengurangi Tingkat penjarahan kayu
Untuk masyarakat PHBM ini menjadi masalah karena kopi memerlukan waktu
yang relatif lama untuk mencapai panen
|
Kerusakan hutan yang terjadi ternyata telah menyeret masyarakat ke posisi sulit,
masyarakat dijadikan kambing hitam penyebab segala kerusakan yang terjadi,
dampak yang sangat menyesakan dada seluruh masyarakat sekitar hutan adalah
dengan turunya SE Gubernur Jabar No. 522/ 2003 tentang Perlindungan dan
Pengamanan Kawasan Hutan Jawa Barat. Bagaimana tidak masyarakat sekitar hutan
yang mata pencaharianya bertani di kawasan hutan diharuskan turun dan tidak
boleh lagi mengelola lahan hutan tersebut, sehingga mereka harus kehilangan
mata pencaharianya. Hal ini berakibat pada menurunya daya beli masyarakat
sehingga masyarakat miskin bertambah banyak bahkan di beberapa lokasi seperti
di Palintang Gunung Manglayang ada masyarakat yang sampai mengalami kelaparan.
Ada satu hal
mendasar yang menyebabkan hutan di Ibun dan Paseh pada saat ini mengalami
kerusakan, yaitu hilangnya nilai-nilai kearipan lokal yang dimiliki masyarakat,
karena masyarakat sudah tidak merasa memiliki hutan, karena akses mereka
terhadap hutanpun sangatlah sulit, dalam benak mereka hutan adalah milik
Perhutani. Padahal sejak dulu masyarakat Sunda sudah mengenal konsep tersendiri
dalam mengelola hutan melalui kearipan budaya lokalnya, yang antara lain:
Lamping = Awian
Dataran =
Sawahan
Hambalan =
Kebonan
Legok caian =
Balongan, dan lain-lain.
Jika kita
menyimak pemaparan di atas, nampak jelas kalau masyarakat dalam hal ini hanya
dijadikan sebagai kambing hitam kerusakan hutan untuk menutupi kejahatan yang
dilakukan Perhutani.
II. ANALISIS
TERHADAP PERAN PEMERINTAH DALAM SENGKETA LAHAN ANTARA MASYARAKAT DAN PERHUTANI
Negara
merupakan bentuk integrasi sosial bersama masyarakat yang memiliki kesamaan
identitas dengan tujuan guna mencapai tujuan dan kesejahteraan bersama,
sehingga kemudian mulcul istilah “welfare state” atau negara kesejahteraan. Dalam
konsep “welfare state”, kesejahteraan rakyat merupakan tanggung jawab negara,
dalam hal ini adalah reji pemerintah yang memerintah atau berkuasa. Begitu pula
dengan negara Indonesia, kesejahteraan rakyat Indonesia pada dasarnya merupakan
tanggung jawab negara atau pemerintah.
Dalam batang
tubuh UUD 1945 dijelaskan beberapa kewajiban negara terhadap rakyatnya,
diantaranya; pasal 27 mengenai jaminan negara atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi rakyatnya dan pasal 33 yang mengatur penguasaan dan penggunaan
sumber daya alam untuk kemakmuran rakyatnya.
Pasal 33
ayat 1 UUD 45 menjelaskan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat”, itu berarti bahwa segala pemanfaatan sember daya alam
termasuk hutan, harus berujung pada meningkatnya kesejahteraan rakyat. Namun,
untuk kasus di atas, nampaknya pennggunaan sumber daya hutan tidak berdampak
pada kesejahteraan masyarakat, justru dengan diberikannya HPH terhadap
Perhutani masyarakat desa Mekarwangi semakin suliit mengakses lahan hutan untuk
becocok tanam, dampaknya banyak masyyarakat yang kehilangan pencahariannya dan
jatuh miskin.
Diserahkanya
HPH hutan kepada BUMN maupun HGU ke Perkebunan dan pihak swasta lainya telah
membuka peluang kapitalisme masuk ke hutan sehingga pengelolaan hutan ini
dikuasai oleh orang tertentu yang memiliki modal dan hasilnya pun untuk
kepentingan pribadi dam menelantarkan rakyat, rakyat kehilangan hak untuk
mengelola hutan guna kesejahteraan mereka.
Padahal jika kita mencermati pasal 68 UU No. 41/1999 tentang kehutanan, disana diterangkan mengenai
hak-hak masyarakat akan lahan hutan, diantaranya:
(1)
Hak
masyarakat untuk menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.
(2)
Hak untuk
memanfaatkan hutan dan hasil hutan.
(3)
Hak untuk
mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi
kehutanan.
(4)
Hak untuk
memberikan informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan.
(5)
Hak untuk
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.
(3) Hak untuk memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan
sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat
penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(4) Hak untuk memperoleh kompensasi karena hilangnya
hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Akan tetapi,
dalakenyataannya UU tidak diimplementasikan sebagaimana semestinya, hak-hak
masyarakat yang dilindungi dalam segala perundangan tidak pernah diberikan
secara utuh. Dari kasus tersebut, kita dapat melihat bagaimana posisi
pemerintah dalam masalah pengelolaan hutan di desa Mekarwangi, kemana
kecenderungan pemerintah berpihak? Kepada kaum kapitalisme atau pada masyarakat
miskin?. Karena kalau benar pemerintah berpihak pada kaum miskin serta benar
kekayaan alam Indonesia yang salah satunya adalah berupa hutan ini dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat mengapa tidak langsung saja diserahkan
pengelolaanya kepada masyarakat, kenapa harus repot-repot diberikan pada
pemilik modal yang nyata-nyata mengeksploitasi hutan sehingga hutan menjadi
rusak.
III. TINJAUAN ISLAM TERHADAP HAK KEPEMILIKAN LAHAN
Ketentuan
Al- Qur'an mengenai hak milik tanah dengan tegas menguntungkan petani, tanah harus
menjadi milik bersama demi pemampaatan yang sebaik- baiknya bagi masyarakat.
Dalam Islam tidak ada pemilikan tanah secara mutlak, karena tanah adalah milik
Allah. Hukum Al- Qur'an tidak menyukai sistem zamindari, yang pada hakikatnya
melakukan pembagian tanah yang merata diantara semua penggarap tanah (Q.S, Al-
'Araf : 128).Tuhan menciptakan bumi demi kebaikan semua orang agar dapat
menikmati buah dan hasilnya (Q.S, An-Nahl).
Tuhan menyediakan nafkah kapada siapapun, dan segala
yang ada di bumi diciptakan- Nya demi kebaikan seluruh umat manusia. (Q.S, Hud
: 5, Al- Baqarah : 29), sumber- sumber daya yang ada di bumi harus dinikmati
oleh semua orang. (Q.S, Fushilat : 10)
Islam tidak menyetujui sistem Zamindari atau sistem
tuan tanah, karena bertentangan dengan prinsip distribusi kekayaan yang adil
dan akan merintangi pemampaatan tanah yang tepat. Tanah yang tidak terpakai
merupakan hal yang mubazir, merugikan pemilik dan masyarakat secara
keseluruhan.
Islam mengizinkan pemilikan faktor produksi agar produksi bertambah,
sebagaimana kita lihat pada usaha menghidupkan tanah mati dan waris. Menurut
Islam jika terdapat tanah kosong yang tidak diikelola, maka orang berhak
mengelolanya, bahkan jika sudah 3 tahun ia mengelola tanah tersebut maka tanah
tersebut menjadi miliknya.
IV. KESIMPULAN
Setelah kita
mencermati pembahasan sebelumnya, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
tindakan masyarakat desa Mekarwangi dalam mengelola hutan kosong yang HPH-nya
dikuasai oleh Perhutani tidak bertentangan dengan hukum kepemilikan
faktor-faktor produksi dalam ekonomi Islam, karena dalam Islam tidak ada
pemilikan tanah secara mutlak, karena tanah adalah milik Allah.
Hukum
Al-Qur'an tidak menyukai sistem zamindari, yang pada hakikatnya melakukan
pembagian tanah yang merata diantara semua penggarap tanah (Q.S, Al- 'Araf :
128).Tuhan menciptakan bumi demi kebaikan semua orang agar dapat menikmati buah
dan hasilnya (Q.S, An-Nahl), segala yang ada di bumi diciptakan- Nya demi
kebaikan seluruh umat manusia. (Q.S, Hud : 5, Al- Baqarah : 29), sehingga
sumber- sumber daya yang ada di bumi harus dinikmati oleh semua orang. (Q.S,
Fushilat : 10).
Islam
menghendaki pemanfaatan sumber daya alam secara efektif agar produktifitas
meningkat sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat.
Referensi:
Ikhwan,
Mohammed. Ini Tanah Kami! Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang,
Asahan, Sumatera Uatara. Jakarta: Petani Press FSPI
Mannan,
Moch. Abdul. 1997. Ekonomi Islam Teori
dan Praktek. Yogyakarta: P.T. Dana Bakti Primayasa
Nagabidin,
dan Lusiana, Susan. Tanah Untuk Penggarap. Perjuangan Reforma Agraria di
Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah. Jakarta: Petani
Press FSPI
Quthb, Sayyid. tt.
Keadilan
Sosial Dalam Islam. Bandung: Penerbit Pustaka
Rahman, Afzalur.
1995. Doktrin Ekonomi Islam. trj.
Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf
Samon, T.
Kartini, dan Syahroni. Tanah Untuk Kehidupan. Perjuangan Reforma Agraria di
Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi. Jakarta: Petani Press FSPI
Saripudin,
Udin, dkk. 2007. Sulitnya Meraih Keadilan. Suara Komunitas Korban Kerusakan
Lingkungan di Cekungan Bandung. Bandung: Inisiatif, Bengkel Komunikasi dan
Uni Eropa
Soetarto,
Endriatmo, dkk. tt. Reforma Agraria. Prasarat Utama Bagi Revitalisasi
Pertanian dan Pedesaan. Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria
Sulaiman, Thahir Abdul Muhsin. 1981.
Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam.
Bandung: P.T. Al- Ma’arif
Surbakti,
Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo
Ya’kub,
Achmad. 2007. Konflik Agraria. Tinjauan Umum Kasus Agraria di Indonesia.
Jakarta: FSPI
Yogiawan,
Arip, dkk. 2006. Melacak Konflik Sumber Daya Alam di Jawa Barat.
Bandung: LBH Bandung dan Tifa Foundation
0 komentar:
Posting Komentar