Selamat Datang

Article

PENGELOLAAN LAHAN PERHUTANI
DI DESA MEKARWANGI KECAMATAN IBUN KABUPATEN BANDUNG  
DITINJAU DARI PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
 Oleh: Udin Saripudin

I.         PENDAHULUAN
Mekarwangi merupakan sebuah desa paling ujung timur tenggara Kabupaten Bandung, tepatnya berada di Kecamatan Ibun sebelah selatan kota Majalaya yang merupakan pusat industri tekstil di kota kembang Bandung. Desa Mekarwangi diapit oleh 5 desa dari 3 kecamatan dan 2 kabupaten. Sebelah utara berbatasan dengan desa Sudi kec. Ibun dan desa Sindangsari kec. Paseh, sebelah selatan berbatasan dengan desa Sukawangi kec. Samarang kab. Garut, sebelah barat berbatasan dengan desa Laksana kec. Ibun dan sebelah timur berbatasan dengan desa Loa kec. Paseh.
Luas desa Mekarwangi adalah 669.712 Ha, yang merupakan dataran tinggi dengan ketinggian 900-1400 m dpl, dengan curah hujan yang tiap tahunnya mencapai 2000-3000 MM/ tahun menjadikan daerah tersebut sangat subur dan cocok dijadikan sebagai area pertanian, dari luas daerah tersebut kurang lebih 90%-nya merupakan areal pertanian, baik pesawahan maupun tegalan.
Desa Mekarwangi termasuk desa yang berpenduduk cukup padat, jumlah penduduknya mencapai 6000 jiwa. Mayoritas penduduknya hanya berpendidikan SD dan tidak punya pekerjaan tetap, oleh karena itu desa Mekarwangi termasuk kategori desa miskin, dimana mayoritas penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. 
Mayoritas penduduk desa Mekarwangi tidak mempunyai pekerjaan dan keahlian, sesuatu yang mereka bisa hanyalah menggunakan ccangkul untuk bertani, didukung oleh kesuburan tanah dan kondisi geografis desa Mekarwangi, maka mayoritas penduduk desa Mekarwangi memilih bermatapencaharian sebagai petani ataupun buruh tani. Diantara mereka ada yang menggarap lahan milik pribadi, ada juga yang menjadi petani penggarap yang menggarap lahan milik tuan-tuan tanah dengan sistem bagi hasil yang biasa dikenal dengan “nengah” yaitu penghasilan dibagi dua dengan prosentase 50: 50, dengan ketentuan pemilik tanah hanya menyediakan tanah saja, pupuk dan obat-obatan lainnya ditanggung penggarap; dan “mertelu” yaitu penghasilan dibagi dua dengan prosentase 1/3 bagi penggarap dan 2/3 bagi pemilik lahan, hal ini dilakukan jika petani penggarap hanya mengerjakan lahan saja, pupuk dan sebagainya ditanggung pemilik lahan.
Selain bertani, ada juga diantara penduduk desa Mekarwangi yang bekerja sebagai, buruh bangunan, pembantu rumah tangga, dan selebihnya memilih menjadi pengangguran, terutama kaum mudanya. Mereka merasa gengsi dan malu untuk bertani ataupun menjadi buruh bangunan sementara untuk masu pabrik tekstil di daerah Majalaya pun mereka di tolak, karena mereka mayoritas hanya berijazah SD, sementara untuk dapat diterima di pabrik tekstil di daerah Majalaya minimal harus berijazah SMA, akhirnya mereka menganggur dan bergantung hidup pada orang tua mereka. Faktor ini jugalah yang kiranya menjadi salah satu penyebab banyaknya keluaraga miskin di desa Mekarwangi.
Namun, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya jumlah penduduk akhirnya, akhirnya banyak lahan pertanian yang kemudian beralih pungsi menjadi pemukiman dan ada juga sebagian mereka yang menjual tanahnya kepada tuan tanah, sehingga akhirnya lahan pertanian yang mereka miliki habis sementara mereka harus tetap bertani untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Karena tidak punya lagi lahan garapan, akhirnya mereka menggarap lahan hutan yang berada di sekitar desa Mekarwangi yang hak pengelolaan hutannya (HPH) dikuasai oleh Perum Perhutani, dengan cara tumpang sari dibawah tegakan yang berupa pohon pinus.
Pada awalnya kegiatan mereka ini tidak menuai masalah, malahan terjadi simbiosis mutualisme antara masyarakat dan Perhutani dalam mengelola hutan, pihak Perhutani pun mendapatkan imbalan semacam uang sewa atas lahan yang digarap oleh masyarakat.
Namun, seiring dengan keruksakan hutan yang terjadi akhiir-akhir ini, kemudian masyarakat sekitar hutan sering dijadikan kambing hitam dari kerusakan hutan tersebut, mulai dari tudingan pembakaran hutan untuk membuka lahan pertanian baru hingga tuduhan pembalakan liar dituduhkan kepada masyarakat. Puncaknya, terjadi pada awal 1990-an, dengan adanya penutupan lahan, masyarakat tidak boleh lagi bertani di lahan hutan. Akan tetapi, karena tidak ada jalan lain untuk berpenghasilan serta mereka beranggapan bahwa kegiatan pertanian mereka tidak menyebabkan kerusakan hutan, akhirnya masyarakat terus memaksa untuk dapat bertani di lahan Perhutani tersebut, beberapa upaya prepentif sampai represif dari pihak Perhutani pun tiidak mereka hiraukan asalkan mereka bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Hingga pada akhirnya tahun 2006 Perhutani menggulirkan program Pengelolaa Hutan Bersama Masyarrakat (PHBM) yang pada intinya menekankan pada 3 opsi yaitu; alih komoditi, alih profesi dan alih lokasi. Akan tetapi, kebijakan ini masih dirasa kurang epektif bagi masyarakat, karena masyarakat hanya di perbolehkan menanam tanaman tertentu saja yang merupakan tanaman jangka panjang, seperti kopi, alpukat dan lain-lain, sementara kebutuhan hidup masyarakat harus terpenuhi setiap hari, dan itu hanya bisa terpenuhi ketika mereka bertani palawija ataupun sayuran. Akhirnya merekapun terus memaksakan menanam sayuran dan palawija meskipun dilarang.
Dari uraian di atas, ada beberapa pertanyaan yang penulis ingin jawab, bagaimana permasalahan kerusakan hutan yang sebenarnya? Apa benar kerusakan hutan yang terjadi itu akibat kegiatan pertanian yang dilakukan masyarakat? Ketika masyarakat tidak memiliki lahan untuk bertani, apa yang harus dilakukan pemerintah, menginggat UUD 45 yang menyatakan sumber daya alam itu harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat? Terakhir, bagaimana menurut pandangan Islam mengenai tindakan yang dilakukan masyarakat yang memaksa untuk mengelola lahan Perhutani yang tidak digunakan?

II.      Permasalahan KERUSAKAN HUTAN di Ibun dan Paseh
Sebagaiman dijelaskan di atas, Ibun dan Paseh merupakan kecamatan yang terdapat di selatan Kabupaten Bandung, topografinya terdiri dari daerah dataran tinggi dan pegunungan yang masih merupakan gugusan Gunung Guntur, sehingga Ibun memilki kawasan hutan yang cukup luas. Ada sekitar 7 desa di Kecamatan Ibun dan Paseh yang wilayahnya berbatasan langsung dengan areal hutan, yaitu; Mekarwangi, Laksana, Ibun, Dukuh, Neglasari, Loa dan Drawati yang semuanya berada dalam kawasan RPH Mandalawangi BKPH Ciparay KPH Bandung Selatan Perum Perhutani Unit III Jabar Banten.
Kawasan hutan di kecamatan Ibun dan Paseh merupakan salah satu kawasan lahan kritis di kabupaten Bandung yang kerusakanya terbilang cukup parah, selain Gunung Wayang dan Manglayang, mulai dari kawasan Gunung Pulus Desa Drawati kecamatan Paseh sampai Kamojang Kecamatan Ibun. Kerusakan berawal pada tahun 1982-1985-an yaitu dengan adanya penebangan hutan pinus oleh Perhutani yang terjadi di kawasan Ibun dan Paseh RPH Mandalawangi, yang menyebabkan hutan gundul sehingga terjadi kekeringan pada musim kemarau dan pada musim hujan berpotensi terjadi bencana banjir.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber mengenai kronologis kerusakan hutan di IBUN dan Paseh, diperoleh informasi bahwa sebenarnya kerusakan hutan tersebu diawali oleh penebangan hutan pinus oleh Perhutani guna kepentingan produksi, kemudian terjadi karena topan yang melanda kawasan Ibun dan Paseh pada tahun 1984 sehigga pohon-pohon pinus pada waktu itu roboh,  dan sisa kerusakannya ditebang oleh masyarakat, namun jumlahnya maih sangat kecil jika dibandingkan dengan yang dilakukan oleh Perhutani.
Tabel 1. Uraian Kronologis Kerusakan Hutan
TAHUN
LOKASI/
BLOK
URAIAN KEJADIAN
DAMPAK
PELAKU
1982 –
1984
Cijangkar
Legoktangkalak
Cibentang
Cigincu
Batugandawesi
Monteng
Penebangan pohon pinus secara besar-besaran oleh PERHUTANI.

Hutan gundul
Debet air sungai menurun pada musim kemarau.
PERHUTANI
1984/85-an
Batugede
Legokdemplon
Karamat
Angin topan merobohkan sebagian besar pohon pinus di areal tersebut.
Hutan gundul
Terjadi banjir bandang. (1987).
Satu rumah dan satu jembatan hayut, 2orang meninggal dunia, dan hektaran sawah tertimbun material banjr.
Bencana alam
Cat. Pinus pada waktu itu sedang dalam keadaan di sadap oleh PERHUTANI
Catatan: Sebagian kecil dari sisa penebangan oleh Perhutani dan angin topan dijarah oleh masyarakat.
Tabel 2. Peta Pelaku Penyebab Kerusakan Hutan.
PELAKU
KEPENTINGAN
PERAN DALAM PERUSAKAN
PERHUTANI
Produksi
Perhutani sebagai pemilik proyek, pelaksana lapangan masyarakat yang diupah untuk kerja.
Sebagian masyarakat
Ekonomi /untuk bertahan hidup
Sebagai penebang, namun ditenggarai ada oknum petugas Perhutani yang terlibat. (lemahnya kinerja petugas Perhutani)

Untuk menanggulangi kerusakan yang terjadi berbagai upaya telah dilakukan baik itu melalui program Perhutani maupun Dinas Kehutanan yang pada intinya merupakan kegitan penanaman kembali lahan kosong/reboisasi. Ada beberapa program penghijauan yang dilakukan di kecamatan Ibun dan Paseh untuk menanggulangi kerusakan hutan tersebut, diantaranya: PHBM, GNRHL dan GRLK. Namun program-program tersebut ternyata tidak efektif dan di lapangan tidak berjalan dengan baik, sehingga hutan tetap saja rusak.
Tabel 3. Program Dan Kebijakan Dalam Rangka Memperbaiki Kondisi Hutan
WAKTU
PROGRAM
DESKRIPSI KONSEP
TINGKAT KEBERHASILAN
-
Rebnoisasi
Hutan gundul yang tinggal semak belukar dibabat berjalur, jaluran tersebut ditanami dengan pohon pinus
Kurang berhasil, pertumbuhan terhambat oleh semak belukar
1985-1987
Reboisasi dengan tumpang sari sayuran
Masyarakat dibolehkan menggarap lahan hutan (sewa) dengan catatan harus menanam pinus
Kurang berhasil
Bibit tidak mencukupi
Waktu tumpangsari singkat. (Tanaman masih kecil semak ke buru tinggi)
1999-2003
PHBM
Masyarakat dibolehkan menggarap lahan hutan (sewa) dengan catatan harus menanam pinus
Berhasil
Bibit mencukupi
Waktu TS relatif lama. (tegakan sudah besar ketika TS berhenti)
2003
SE 522
Masyarakat yang menggarap lahan hutan harus segera menghentikan garapanya, tidak boleh lagi tumpang sari sayuran.
Tidak berhasil memperbaiki kerusakan hutan
Hutan terlantar, terjadi penebangan liardan kebakaran hutan.
2003
GNRHL
Dibentuk beberapa kelompok tani hutan untuk melaksanakan proyek penghijauan.(pembuatan jalur tanam, lubang tanam, pengangkutan bibit,penanaman dan pemeliharaan)
Tidak berhasil
Bibit datang menjelang kemarau
Sistim proyek, orientasinya untung/rugi, kerja borongan, terkesan asal-asalan
Kualitas bibit jelek
Kurang pemeliharaan dari pihak-pihak terkait
2004
GRLK
Bibit disediakan oleh Disbun dan diserahkan pada pasilitator di tingkat Desa. Oleh fasilitator Bibit langsung dibagikan pada masing-masing pemilik lahan
Kurang berhasil Bibit datang menjelang kemarau
Kualitas bibit jelek


2005
PHBM
Masyarakat boleh menggarap lahan Perhutani dengan tumpangsari tanaman kopi dan lainya yang dibolehkan yang tidak memerlukan olah tanah  secara terus-menerus
Untuk hutan /Perhutani sejauh ini  cukup berhasil mengurangi Tingkat penjarahan kayu
Untuk masyarakat PHBM ini menjadi masalah karena kopi memerlukan waktu yang relatif lama untuk mencapai panen
Kerusakan hutan yang terjadi ternyata telah menyeret masyarakat ke posisi sulit, masyarakat dijadikan kambing hitam penyebab segala kerusakan yang terjadi, dampak yang sangat menyesakan dada seluruh masyarakat sekitar hutan adalah dengan turunya SE Gubernur Jabar No. 522/ 2003 tentang Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Hutan Jawa Barat. Bagaimana tidak masyarakat sekitar hutan yang mata pencaharianya bertani di kawasan hutan diharuskan turun dan tidak boleh lagi mengelola lahan hutan tersebut, sehingga mereka harus kehilangan mata pencaharianya. Hal ini berakibat pada menurunya daya beli masyarakat sehingga masyarakat miskin bertambah banyak bahkan di beberapa lokasi seperti di Palintang Gunung Manglayang ada masyarakat yang sampai mengalami kelaparan.
Ada satu hal mendasar yang menyebabkan hutan di Ibun dan Paseh pada saat ini mengalami kerusakan, yaitu hilangnya nilai-nilai kearipan lokal yang dimiliki masyarakat, karena masyarakat sudah tidak merasa memiliki hutan, karena akses mereka terhadap hutanpun sangatlah sulit, dalam benak mereka hutan adalah milik Perhutani. Padahal sejak dulu masyarakat Sunda sudah mengenal konsep tersendiri dalam mengelola hutan melalui kearipan budaya lokalnya, yang antara lain:
Lamping = Awian
Dataran = Sawahan
Hambalan = Kebonan
Legok caian = Balongan, dan lain-lain.
Jika kita menyimak pemaparan di atas, nampak jelas kalau masyarakat dalam hal ini hanya dijadikan sebagai kambing hitam kerusakan hutan untuk menutupi kejahatan yang dilakukan Perhutani.

II.           ANALISIS TERHADAP PERAN PEMERINTAH DALAM  SENGKETA LAHAN ANTARA MASYARAKAT DAN PERHUTANI
Negara merupakan bentuk integrasi sosial bersama masyarakat yang memiliki kesamaan identitas dengan tujuan guna mencapai tujuan dan kesejahteraan bersama, sehingga kemudian mulcul istilah “welfare state” atau negara kesejahteraan. Dalam konsep “welfare state”, kesejahteraan rakyat merupakan tanggung jawab negara, dalam hal ini adalah reji pemerintah yang memerintah atau berkuasa. Begitu pula dengan negara Indonesia, kesejahteraan rakyat Indonesia pada dasarnya merupakan tanggung jawab negara atau pemerintah.
Dalam batang tubuh UUD 1945 dijelaskan beberapa kewajiban negara terhadap rakyatnya, diantaranya; pasal 27 mengenai jaminan negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi rakyatnya dan pasal 33 yang mengatur penguasaan dan penggunaan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyatnya.
Pasal 33 ayat 1 UUD 45 menjelaskan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”, itu berarti bahwa segala pemanfaatan sember daya alam termasuk hutan, harus berujung pada meningkatnya kesejahteraan rakyat. Namun, untuk kasus di atas, nampaknya pennggunaan sumber daya hutan tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat, justru dengan diberikannya HPH terhadap Perhutani masyarakat desa Mekarwangi semakin suliit mengakses lahan hutan untuk becocok tanam, dampaknya banyak masyyarakat yang kehilangan pencahariannya dan jatuh miskin.
Diserahkanya HPH hutan kepada BUMN maupun HGU ke Perkebunan dan pihak swasta lainya telah membuka peluang kapitalisme masuk ke hutan sehingga pengelolaan hutan ini dikuasai oleh orang tertentu yang memiliki modal dan hasilnya pun untuk kepentingan pribadi dam menelantarkan rakyat, rakyat kehilangan hak untuk mengelola hutan guna kesejahteraan mereka.
Padahal jika kita mencermati pasal 68 UU No. 41/1999 tentang kehutanan, disana diterangkan mengenai hak-hak masyarakat akan lahan hutan, diantaranya:
(1)     Hak masyarakat untuk menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.
(2)     Hak untuk memanfaatkan hutan dan hasil hutan.
(3)     Hak untuk mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan.
(4)     Hak untuk memberikan informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan.
(5)     Hak untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik  langsung maupun tidak langsung.
(3) Hak untuk memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Hak untuk memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Akan tetapi, dalakenyataannya UU tidak diimplementasikan sebagaimana semestinya, hak-hak masyarakat yang dilindungi dalam segala perundangan tidak pernah diberikan secara utuh. Dari kasus tersebut, kita dapat melihat bagaimana posisi pemerintah dalam masalah pengelolaan hutan di desa Mekarwangi, kemana kecenderungan pemerintah berpihak? Kepada kaum kapitalisme atau pada masyarakat miskin?. Karena kalau benar pemerintah berpihak pada kaum miskin serta benar kekayaan alam Indonesia yang salah satunya adalah berupa hutan ini dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat mengapa tidak langsung saja diserahkan pengelolaanya kepada masyarakat, kenapa harus repot-repot diberikan pada pemilik modal yang nyata-nyata mengeksploitasi hutan sehingga hutan menjadi rusak.

III.        TINJAUAN ISLAM TERHADAP HAK KEPEMILIKAN LAHAN
Ketentuan Al- Qur'an mengenai hak milik tanah dengan tegas menguntungkan petani, tanah harus menjadi milik bersama demi pemampaatan yang sebaik- baiknya bagi masyarakat. Dalam Islam tidak ada pemilikan tanah secara mutlak, karena tanah adalah milik Allah. Hukum Al- Qur'an tidak menyukai sistem zamindari, yang pada hakikatnya melakukan pembagian tanah yang merata diantara semua penggarap tanah (Q.S, Al- 'Araf : 128).Tuhan menciptakan bumi demi kebaikan semua orang agar dapat menikmati buah dan hasilnya (Q.S, An-Nahl).
Tuhan menyediakan nafkah kapada siapapun, dan segala yang ada di bumi diciptakan- Nya demi kebaikan seluruh umat manusia. (Q.S, Hud : 5, Al- Baqarah : 29), sumber- sumber daya yang ada di bumi harus dinikmati oleh semua orang. (Q.S, Fushilat : 10)
Islam tidak menyetujui sistem Zamindari atau sistem tuan tanah, karena bertentangan dengan prinsip distribusi kekayaan yang adil dan akan merintangi pemampaatan tanah yang tepat. Tanah yang tidak terpakai merupakan hal yang mubazir, merugikan pemilik dan masyarakat secara keseluruhan.
Islam mengizinkan pemilikan faktor produksi agar produksi bertambah, sebagaimana kita lihat pada usaha menghidupkan tanah mati dan waris. Menurut Islam jika terdapat tanah kosong yang tidak diikelola, maka orang berhak mengelolanya, bahkan jika sudah 3 tahun ia mengelola tanah tersebut maka tanah tersebut menjadi miliknya.

IV.        KESIMPULAN
Setelah kita mencermati pembahasan sebelumnya, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa tindakan masyarakat desa Mekarwangi dalam mengelola hutan kosong yang HPH-nya dikuasai oleh Perhutani tidak bertentangan dengan hukum kepemilikan faktor-faktor produksi dalam ekonomi Islam, karena dalam Islam tidak ada pemilikan tanah secara mutlak, karena tanah adalah milik Allah.
Hukum Al-Qur'an tidak menyukai sistem zamindari, yang pada hakikatnya melakukan pembagian tanah yang merata diantara semua penggarap tanah (Q.S, Al- 'Araf : 128).Tuhan menciptakan bumi demi kebaikan semua orang agar dapat menikmati buah dan hasilnya (Q.S, An-Nahl), segala yang ada di bumi diciptakan- Nya demi kebaikan seluruh umat manusia. (Q.S, Hud : 5, Al- Baqarah : 29), sehingga sumber- sumber daya yang ada di bumi harus dinikmati oleh semua orang. (Q.S, Fushilat : 10).
Islam menghendaki pemanfaatan sumber daya alam secara efektif agar produktifitas meningkat sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat.
  
Referensi:

 Ikhwan, Mohammed. Ini Tanah Kami! Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Uatara. Jakarta: Petani Press FSPI

Mannan, Moch. Abdul. 1997. Ekonomi Islam Teori dan Praktek. Yogyakarta: P.T. Dana Bakti Primayasa

Nagabidin, dan Lusiana, Susan. Tanah Untuk Penggarap. Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah. Jakarta: Petani Press FSPI

Quthb, Sayyid. tt.  Keadilan Sosial Dalam Islam. Bandung: Penerbit Pustaka

Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam. trj. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf
Samon, T. Kartini, dan Syahroni. Tanah Untuk Kehidupan. Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi. Jakarta: Petani Press FSPI

Saripudin, Udin, dkk. 2007. Sulitnya Meraih Keadilan. Suara Komunitas Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung. Bandung: Inisiatif, Bengkel Komunikasi dan Uni Eropa

Soetarto, Endriatmo, dkk. tt. Reforma Agraria. Prasarat Utama Bagi Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan. Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria

Sulaiman, Thahir Abdul Muhsin. 1981. Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam. Bandung: P.T. Al- Ma’arif

Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo

Ya’kub, Achmad. 2007. Konflik Agraria. Tinjauan Umum Kasus Agraria di Indonesia. Jakarta: FSPI

Yogiawan, Arip, dkk. 2006. Melacak Konflik Sumber Daya Alam di Jawa Barat. Bandung: LBH Bandung dan Tifa Foundation



0 komentar:

Posting Komentar